Sampah dan sanitasi ? Tahukah kamu kalau pengelolaan sampah dapat mempengaruhi kualitas air tanah?
Contohnya, warga Kampung Benda di Cipayung, Jawa Barat, yang tinggal tak jauh dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Air sumur andalan sehari-hari mereka untuk minum dan mandi tiba-tiba berbau, berminyak, dan lengket.
Data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2015 menunjukkan, sekitar 90 persen kabupaten dan kota di Indonesia masih mengadopsi sistem pengelolaan sampah yang bersifat open dumping, yaitu sampah dibawa ke suatu lahan luas, dibuang, dan dibiarkan begitu saja. Yang terjadi adalah proses dekomposisi materi organik tercampur dengan sampah non-organik seperti plastik, baterai, elektronik atau besi dan hasilnya, antara lain, ialah produksi air lindi (leachate) yang mengalir ke—dan mengontaminasi—sumber air seperti air tanah dan air sungai. Jelas bukan jenis air yang kita sarankan untuk minum ya.
Persoalan pencemaran lingkungan akibat sampah tak terkelola adalah masalah pelik di Indonesia. Sampah plastik yang dibuang sembarangan terurai menjadi mikroplastik yang mencemarilaut,sungai, danau, dan bahkan ditemukan juga dalam air kemasan. Berdasarkan penelitian Ecoton dan Pulau Plastik, mikroplastik pun telah ditemukan di dalam 40 sampel feses individu yang tersebar di berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Bali.
Meskipun World Health Organization (WHO) mengeluarkan pernyataan kalau sejauh ini dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia belum terlalu serius, namun jika dibiarkan berpotensi mengganggu sistem imunitas tubuh karena penumpukan zat-zat kimia yang terkandung dalam plastik.
Itu baru satu kasus—belum kita membahas soal dampak minyak jelantah, baterai bekas, sampah medis, besi berkarat, dan masih banyak lagi limbah rumah tangga yang dapat memengaruhi kualitas air.
Lantas, apa solusinya?
Pengelolaan sampah merupakan isu kompleks, dan secara otomatis penanganannya pun kompleks yang mesti melibatkan pemerintah dengan menyediakan fasilitas daur ulang, produsen yang menawarkan kemasan yang dapat didaur ulang, dan konsumen. Dari level konsumen, berikut tiga tindakan pencegahan yang bisa kamu lakukan di rumah…
Kita mungkin merasa enggan melintasi tempat pembuangan sampah karena timbunan sampah dengan aroma tak sedap. Padahal kita juga lah yang berkontribusi terhadap masalah sampah. Itulah yang terjadi ketika kita mencampur sampah organik seperti sisa makanan, kulit buah, tangkai sayur dengan non-organik, dan mengirimnya tanpa terkelola ke TPA.
Maka penting bagi kita memulai kebiasaan baru yaitu memilah sampah di sumber. Sediakan tempat khusus untuk sampah non-organik seperti plastik, tutup botol, kertas, kaleng atau beling, lalu pilah lagi sampah tersebut dan bawalah ke bank sampah terdekat supaya bisa didaur ulang. FYI, minyak jelantah, yang bisa merusak ekosistem vegetasi dan spesies air apabila dibuang ke saluran air, pun kini bisa di “daur ulang” menjadi bahan dasar lilin, sabun, dan biofuel, seperti yang dilakukan oleh Yayasan Lengis Hijau.
Kamu juga bisa menyediakan satu tempat sampah lagi berlabel “Residu”, yaitu sampah yang tak bisa didaur ulang seperti robekan plastik, sachet, dan kemasan makanan instan. Manusia saat ini memang belum bisa hidup tanpa memproduksi sampah, namun yang bisa kita lakukan adalah mengurangi jumlah sampah, terutama yang masih bisa didaur ulang.
Tahukah Anda, kalau sebagian besar pertanian dan perkebunan di Indonesia masih mengandalkan pupuk kimia seperti urea atau NPK, belum lagi dependensi terhadap pestisida untuk mencegah hama.Demi memenuhi kebutuhan makanan seluruh negara, mungkin hal tersebut lebih efektif, namun tentu ketergantungan pada kimia akan berimbas negatif terhadap lingkungan.
“Indikator tanah sehat adalah tanah yang banyak cacingnya,” ungkap Dr. Ir. Nih Luh Kartini, MS, Ketua Departemen Tanah, Biologi, Konsentrasi Tanah, dan Lingkungan, Fakultas Pertanian Udayana, Bali. “Namun sayangnya sekarang kita menghadapi situasi di mana alam jadi bergantung pada pupuk kimia. Akibatnya ekosistem alam pun jadi terpengaruh, seperti dengan hilangnya cacing, belalang, lebah, dan air yang tadinya bersih kini jadi kotor.”
Solusinya? Bagi penghuni rumah tangga, pendiri Bali Organic Association ini menganjurkan untuk mengompos, di mana semua “bahan-bahan”-nya ada di dapur kita semua. Dengan segala argumen tentang plastik, sebenarnya lebih dari 60 persen sampah yang kita hasilkan adalah sampah organik, namun hingga saat ini sampah dapur tersebut mayoritas hanya dibuang ke TPA. Padahal, dengan mengelola sampah makanan dengan cara mengompos kita tak hanya akan membantu menyuburkan tanah kebun sendiri namun juga memperbaiki kualitas air tanah serta menyaring kontaminan.
Lalu bagaimana dengan human waste alias tinja? Banyak orang yang masih menganggap sepele soal sanitasi di rumah sendiri—asal air tetap mengalir untuk “aktivitas” di toilet maka tidak ada masalah. Namun tahukah kamu apakah septic tank di rumah kedap air? Atau apakah jaraknya 1,5 meter dari rumah? Atau jaraknya 10 meter dari sumur air bersih?
Segala spesifikasi itu tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 298: 2017, standar yang dicanangkan oleh pemerintah untuk menghindari air bersih tercemar oleh feses manusia. Berdasarkan pedoman bertajuk “Air, Sanitasi, Higiene, dan Pengelolaan Limbah yang Tepat dalam Penanganan Wabah COVID-19” yang dirilis oleh WHO dan UNICEF, pengolahan air limbah dan tinja secara rutin dan aman sangatlah penting untuk mencegah penularan penyakit melalui air yang terkontaminasi.
Menurut PD PAL Jaya, perusahaan daerah pemprov DKI Jakarta yang bergerak di bidang pengelolaan air limbah, lumpur tinja dari tangki septik idealnya disedot maksimal tiga tahun sekali agar tangki septik tidak overload dan merembes ke aliran air tanah. Agar warga tak lupa melakukan penyedotan, PD PAL Jaya pun menawarkan jasa Layanan Lumpur Tinja Terjadwal.
Sampah dan sanitasi sebenarnya kalau kita perhatikan memiliki kesamaan. Keduanya setelah terbuang, tak terlihat, tak tercium, maka jarang kita memikirkan apa yang terjadi setelahnya—hingga dampaknya begitu besar sehingga kita tak dapat mengacuhkannya lagi. Ayo kita hindari hal tersebut terjadi, dan solusinya bisa Anda mulai dari rumah sendiri!
Sumber : https://cekidot.org/sampah-dan-sanitasi?utm_source=google&utm_medium=cpc&utm_campaign=DHTQ122&utm_content=UNICEF%20Indonesia&gclid=EAIaIQobChMIjYLBht3s9QIVUpNmAh074QFcEAMYASAAEg
Other Information :
untuk mengecek kesehatan lingkungan kit diperlukan sanitarian kit
Untuk mengecek kesehatan lingkungan lengkap diperlukan kesling kit
untuk pengecek kesehatan makanan diperlukan food security kit
Untuk pengecek kesehatan di air diperlukan water test kit
*Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak di bawah ini:
*Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak di bawah ini:
*Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak di bawah ini:
*Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak di bawah ini:
Komentar dinonaktifkan: Sampah dan Sanitasi
Maaf, form komentar dinonaktifkan.